Toleransi antaragama di Indonesia sebenarnya sudah berakar sejak berabad yang lalu. Para pemeluk agama yang berbeda saling menghormati satu sama lain, bahkan hidup berdampingan secara damai. Salah satu jejak yang membuktikan hal ini adalah Pura Langgar, di Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, Bali.
Sebenarnya, pura ini bernama Pura Dalem Jawa, namun lebih dikenal dengan nama Pura Langgar. Seperti kita ketahui, pura adalah tempat ibadah umat Hindu, dan langgar (masjid kecil) adalah tempat ibadah umat Islam. Nah, kenapa dua tempat ibadah ini dijadikan nama pura?
SEJARAH PURA LANGGAR
Sekitar
abad ke 16 terjadi perselisihan dan kesalah pahaman antara Dalem
Waturenggong di Gelgel Bali dengan Kerajaan Blambangan Jawa Timur akibat
penolakan Raja Blambangan (Dalem Sri Juru) untuk memberikan putrinya
Ayi Ayu Mas yang akan dipersunting sebagai istri oleh Dalem
Waturenggong. Kemudian terjadilah pertempuran yang dipimpin oleh patih
dari kerajaan Gelgel yang bernama Ki Patih Ularan. Setelah pertemputran
berakhir, Ki Patih Ularan membawa penggalan kepala Raja Blambangan
kehadapan Raja Gelgel. Karena perbuatan tersebut dianggap tidak
berprikemanusiaan maka, Ki Patih Ularan diusir oleh Raja Gelgel.
Setelah pertempuran tersebut daerah kerajaan Blambangan dikuasai oleh kerajaan Gelgel (1489 M). Namun tidak berlangsung lama Raja Mataram berusaha
merebut kekuasaan kerajaan Blambangan dan akhirnya Raja Mataram mampu
menduduki Kerajaan Blambangan. Peristiwa ini tidak berlangsung lama dan
dapat direbut kembali oleh Panji Sakti Raja Buleleng. Meskipun
Blambangan sudah menjadi daerah kekuasaan kerajaan Bali, namun pimpinan
pemerintahan tetap dijabat oleh keturunan Raja Blambangan yaitu Pangeran
Mas Sepuh dan dibantu oleh saudaranya yang bernama Wong Agung Willis (Pangeran Willis)
dengan jabatan Patih Agung. Pemerintahan dua orang bersaudara ini
mengalami persengketaan akibat selilisih persoalan penganutan agama yang
menyebabkan dipecatnya Wong Agung Willis sebagai Patih Agung.
Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya Wong Agung Willis
meninggalkan Blambangan dan menghadap Raja Mengwi Bali. Selama tinggal di
Kerajaan Mengwi beliau banyak mendapatkan bimbingan nasehat dari
seorang Pendeta Lingsir Geria Denkayu. Mengenai kepergian Wong Agung
Willis bersama keluarganya menimbulkan kegelisahan Pangeran Mas Sepuh
karena dapat membahayakan kedudukannya sebagai penguasa Blambangan.
Akhirnya Pangeran Mas Sepuh berangkat ke Bali menuju Kerajaan Mengwi
bersama 80 pasukan dan beberapa orang yang sudah masuk Islam. Setelah
keduanya bertemu, Wong Agung Willis dan Pangeran Mas sepuh saling
memaafkan dan berniat berangkat bersama bertemu dengan raja Gelgel untuk
bersilahturahmi dan memohon maaf atas kejadian masa lalu. Keinginan
tersebut pun disambut baik oleh Raja Gelgel. Kemudian kedua bersaudara
ini singgah ke Kerajaan Mengwi dan pada sore harinya menuju ke
Blambangan, namun dalam perjalanan pulang perahu yang ditumpangi oleh
Pangeran Mas Sepuh dan Wong Agung Willis tidak kunjung datang akhirnya
beliau bermalam dirumah penduduk. Dikelarutan malam kedua pangeran
diserang oleh Laskar Mengwi atas perintah Raja Mengwi yang berakibat wafatnya
Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya beliau di makamkan di desa Seseh yang
blakangan ini dikenal dengan sebutan Pura Keramat Ratu Mas Sepuh.
Selanjutnya
Wong Agung Willis berhasil menyelamatkan diri dan berniat pergi ke
Kerajaan Gelgel. Ketika dalam perjalanan menuju Puri gelgel tiba-tiba
beliau sampai di pelemahan Blahbatuh. Kemudian kembali melakukan
perjalanan dan akhirnya tiba di pelemahan Desa Bunutin dan menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya, sehingga penduduk Bunutin merasa iba
dan terpesona dan memohon agar Wong Agung Willis tetap tinggal di
Bunutin.
Pada
tahun 1580 M oleh Raja Gelgel yang masih memilih trah keluarga Kerajaan Blambangan
ini kemudian menghadiahkan tanah lungguh di Bunutin diiringi 300
pengiring. Wong Agung Willis lalu dinobatkan Raja Gelgel sebagai penguasa Puri
Bunutin dengan gelar I Dewa Mas Willis dan membangun pemerajan Agung menurut
cara-cara dresta. Diceritakan dari istri permaisuri yang merupaka anak dari Raja Mengwi beliau berputrakan
Ida I Dewa Mas Blambangan dan Ida I Dewa Mas Bunutin. Sedangkan dari istri penawing I Dewa Mas Willis memilki tiga putra yaitu I Dewa Wayan Mas, I Dewa Made Mas, I Dewa Nyoman Mas.
Dikisahkan
kemudian Ida I Dewa Mas Blambangan jatuh sakit sangat berat dan lama
serta tidak mempan dengan segala pengobatan apapun. Kemudian Ida I Dewa
Mas Bunutin melakukan yoga semadhi dan diberikan pewisik sebagai berikut
:
‘’Wahai
Mas Blambangan, mas Bunutin dan semuanya ada disini. Aku Dewaning Selam
yang bernama Tuhan Allah. Aq minta supaya dibuatkan pelinggih Langgar
tempatmu sembahyang kepadaKu. Jikalau tidak membuat sebagaimana
permitaan Q. Maka terus menerus secara turun temurun akan menderita
sakit parah tapi tidak mati (Gele-gele). Penyakitnya tidak akan sembuh
oleh macam-macam obat apapun. Sebaliknya kalau mau membuat pelinggih
Langgar sudah pasti sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dan terus
berbahagia serta penuh kebahagian serta penuh kewibawaan. Bila ada yang
menolak sudah pasti tidak akan mampu bertahan menghadapi penderitaan
lahir dan batin malahan akan sampai jatuh ke wangsan keluar dari Puri
atau Jaba’’.
Akibat
dari pewisik tersebut Ida I Dewa Mas Blambangan memanggil adik dan ibunya
untuk berunding sehubungan dengan pewisik tersebut. Akhirnya beliau
memutuskan untuk membuat Pura Langgar. Namun adik tiri Beliau menolak
dengan tegas pembangunan Pura Langgar karena dianggap
berbau Islam. Sehingga ketiga saudara tiri Beliau meninggalkan Puri
Agung Bunutin dan pergi menghadap Raja Dalem Segening di Puri Gelgel
untuk menceritakan kejadian di Puri Bunutin dan diperkenankan tinggal di
Puri Gelgel. Setelah Pura Langgar selesai didirikan akhirnya Ida I Dewa Mas
Blambangan sehat kembali seperti sediakala tanpa pengobatan apapun.
Sekelumit cerita itulah yang menyingkap pertalian sejarah Hindu dan
Islam di Pura Langgar tadi. Uniknya, pura merupakan rumah
persembahyangan umat Hindu. Sementara langgar sama artinya dengan rumah
ibadah umat Islam. Namun, Pura Langgar tetap difungsikan sebagai tempat
persembahyangan umat Hindu hingga kini.
KEUNIKAN PURA LANGGAR
Keunikan Pura Langgar yaitu bangunan utama
(utamaning mandala) Pura Langgar berbentuk segi empat. Ada dua undakan
dan empat pintu di bangunan yang dikenal pula sebagai Bale Agung ini.
Atapnya bertingkat dua. Dua tingkat atap dan undakan ini syahdan
melambangkan syariat dan tarekat dalam Islam. Namun, dalam Bale Agung
ini ditempatkan Pelinggih Pendeta Sakti Bawu Rauh.
Sementara sisi utara Pura Langgar dikenal sebagai bangunan kaler (kaja) yang berfungsi sama dengan bale agung. Namun, jika ada warga yang meninggal di Desa Pakraman ini biasanya umat Hindu tak boleh memasuki areal suci ini, kecuali pemangku pura tersebut.
Sisi timur ada bangunan Pura Pajenengan. Bangunan suci ini diyakini menjadi tempat leluhur yang sudah diupacarai secara Hindu. Upacara khusus di bangunan ini dilakukan saat tiba pagarwesi.
Menariknya, tiga bangunan tempat suci di Pura Langgar ini dipercayai memiliki kedekatan sejarah dengan leluhur pengempon Pura Langgar dari Blambangan yang beragama Islam. Jika ada upacara biasanya sesajen di tiga bangunan suci ini tak memakai daging babi. Sesajen tidak boleh menggunakan daging babi, karena daging babi diharamkan oleh umat Islam. Karena itu diganti dengan daging ayam atau itik.
Sesajen berisi daging babi hanya boleh dipersembahkan di bangun suci yang berada di sisi selatan Pura Langgar. Bangunan suci ini disebut Pura Dalem yang fungsinya sama dengan Pura Pajenengan di sisi timurnya.
Umat Hindu di pura ini juga mengenal kurban, seperti kurban yang dilakukan umat Muslim di hari raya Idul Adha. Namun kurban yang dilakukan umat Hindu ini dilakukan sekali pada bulan Februari/Maret, sebelum hari raya Nyepi. Upacara ini dikenal sebagai titi mamah atau mapekelem. Kurbannya berupa seekor sapi yang ditenggelamkan di kolam Taman Pura Langgar.
Menariknya, kurban sapi yang ditenggelamkan di kolam tersebut biasanya hilang tak berbekas. Begitu pula dengan persembahan canang. Padahal, kolam tersebut tak bermuara. Namun, warga di Pantai Lebih, Gianyar, biasanya memastikan ada upacara ini dalam waktu tertentu. Sesajen upacara justru ditemukan warga muncul di pantai tersebut.
Kolam di Taman Pura Langgar itu pun menyimpan cerita unik. Air kolam tak pernah habis terkuras jika dilakukan aksi bersih-bersih. Ada mata air yang justru berada di tengah kolam yang mengitari bangunan Pura Langgar itu.
Pura Langgar memang menjadi tempat ibadah umat Hindu. Namun banyak pula umat Islam yang berziarah ke sini. Tidak hanya umat Islam di Bali, banyak pula dari daerah lain. Karena itu, di sebelah pura disediakan tempat khusus untuk shalat.
Inilah tempat ibadah yang menjadi simbol perdamaian. Dan semoga akar perdamaian ini terus berakar sehingga rakyat tidak mudah diprovokasi untuk saling membenci dan pada akhirnya memunculkan pertikaian demi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Salam Damai.
Sementara sisi utara Pura Langgar dikenal sebagai bangunan kaler (kaja) yang berfungsi sama dengan bale agung. Namun, jika ada warga yang meninggal di Desa Pakraman ini biasanya umat Hindu tak boleh memasuki areal suci ini, kecuali pemangku pura tersebut.
Sisi timur ada bangunan Pura Pajenengan. Bangunan suci ini diyakini menjadi tempat leluhur yang sudah diupacarai secara Hindu. Upacara khusus di bangunan ini dilakukan saat tiba pagarwesi.
Menariknya, tiga bangunan tempat suci di Pura Langgar ini dipercayai memiliki kedekatan sejarah dengan leluhur pengempon Pura Langgar dari Blambangan yang beragama Islam. Jika ada upacara biasanya sesajen di tiga bangunan suci ini tak memakai daging babi. Sesajen tidak boleh menggunakan daging babi, karena daging babi diharamkan oleh umat Islam. Karena itu diganti dengan daging ayam atau itik.
Sesajen berisi daging babi hanya boleh dipersembahkan di bangun suci yang berada di sisi selatan Pura Langgar. Bangunan suci ini disebut Pura Dalem yang fungsinya sama dengan Pura Pajenengan di sisi timurnya.
Umat Hindu di pura ini juga mengenal kurban, seperti kurban yang dilakukan umat Muslim di hari raya Idul Adha. Namun kurban yang dilakukan umat Hindu ini dilakukan sekali pada bulan Februari/Maret, sebelum hari raya Nyepi. Upacara ini dikenal sebagai titi mamah atau mapekelem. Kurbannya berupa seekor sapi yang ditenggelamkan di kolam Taman Pura Langgar.
Menariknya, kurban sapi yang ditenggelamkan di kolam tersebut biasanya hilang tak berbekas. Begitu pula dengan persembahan canang. Padahal, kolam tersebut tak bermuara. Namun, warga di Pantai Lebih, Gianyar, biasanya memastikan ada upacara ini dalam waktu tertentu. Sesajen upacara justru ditemukan warga muncul di pantai tersebut.
Kolam di Taman Pura Langgar itu pun menyimpan cerita unik. Air kolam tak pernah habis terkuras jika dilakukan aksi bersih-bersih. Ada mata air yang justru berada di tengah kolam yang mengitari bangunan Pura Langgar itu.
Pura Langgar memang menjadi tempat ibadah umat Hindu. Namun banyak pula umat Islam yang berziarah ke sini. Tidak hanya umat Islam di Bali, banyak pula dari daerah lain. Karena itu, di sebelah pura disediakan tempat khusus untuk shalat.
Inilah tempat ibadah yang menjadi simbol perdamaian. Dan semoga akar perdamaian ini terus berakar sehingga rakyat tidak mudah diprovokasi untuk saling membenci dan pada akhirnya memunculkan pertikaian demi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Salam Damai.