Selasa, 25 September 2012

Harmonisasi Agama Hindu dan Islam dalam Satu Tempat Suci


Toleransi antaragama di Indonesia sebenarnya sudah berakar sejak berabad yang lalu. Para pemeluk agama yang berbeda saling menghormati satu sama lain, bahkan hidup berdampingan secara damai. Salah satu jejak yang membuktikan hal ini adalah Pura Langgar, di Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, Bali.


Sebenarnya, pura ini bernama Pura Dalem Jawa, namun lebih dikenal dengan nama Pura Langgar. Seperti kita ketahui, pura adalah tempat ibadah umat Hindu, dan langgar (masjid kecil) adalah tempat ibadah umat Islam. Nah, kenapa dua tempat ibadah ini dijadikan nama pura?


SEJARAH PURA LANGGAR
 

Sekitar abad ke 16 terjadi perselisihan dan kesalah pahaman antara Dalem Waturenggong di Gelgel Bali dengan Kerajaan Blambangan Jawa Timur akibat penolakan Raja Blambangan (Dalem Sri Juru) untuk memberikan putrinya Ayi Ayu Mas yang akan dipersunting sebagai istri oleh Dalem Waturenggong. Kemudian terjadilah pertempuran yang dipimpin oleh patih dari kerajaan Gelgel yang bernama Ki Patih Ularan. Setelah pertemputran berakhir, Ki Patih Ularan membawa penggalan kepala Raja Blambangan kehadapan Raja Gelgel. Karena perbuatan tersebut dianggap tidak berprikemanusiaan maka, Ki Patih Ularan diusir oleh Raja Gelgel.
Setelah pertempuran tersebut daerah kerajaan Blambangan  dikuasai oleh kerajaan Gelgel (1489 M). Namun tidak berlangsung lama Raja Mataram berusaha merebut kekuasaan kerajaan Blambangan dan akhirnya Raja Mataram mampu menduduki Kerajaan Blambangan. Peristiwa ini tidak berlangsung lama dan dapat direbut kembali oleh Panji Sakti Raja Buleleng. Meskipun Blambangan sudah menjadi daerah kekuasaan kerajaan Bali, namun pimpinan pemerintahan tetap dijabat oleh keturunan Raja Blambangan yaitu Pangeran Mas Sepuh dan dibantu oleh saudaranya yang bernama Wong Agung Willis (Pangeran Willis) dengan jabatan Patih Agung. Pemerintahan dua orang bersaudara ini mengalami persengketaan akibat selilisih persoalan penganutan agama yang menyebabkan dipecatnya Wong Agung Willis sebagai Patih Agung.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya Wong Agung Willis meninggalkan Blambangan dan menghadap Raja Mengwi Bali. Selama tinggal di Kerajaan Mengwi beliau banyak mendapatkan bimbingan nasehat dari seorang Pendeta Lingsir Geria Denkayu. Mengenai kepergian Wong Agung Willis bersama keluarganya menimbulkan kegelisahan Pangeran Mas Sepuh karena dapat membahayakan kedudukannya sebagai penguasa Blambangan. Akhirnya Pangeran Mas Sepuh berangkat ke Bali menuju Kerajaan Mengwi bersama 80 pasukan dan beberapa orang yang sudah masuk Islam. Setelah keduanya bertemu, Wong Agung Willis dan Pangeran Mas sepuh saling memaafkan dan berniat berangkat bersama bertemu dengan raja Gelgel untuk bersilahturahmi dan memohon maaf atas kejadian masa lalu. Keinginan tersebut pun disambut baik oleh Raja Gelgel. Kemudian kedua bersaudara ini singgah ke Kerajaan Mengwi dan pada sore harinya menuju ke Blambangan, namun dalam perjalanan pulang perahu yang ditumpangi oleh Pangeran Mas Sepuh dan Wong Agung Willis tidak kunjung datang akhirnya beliau bermalam dirumah penduduk. Dikelarutan malam kedua pangeran diserang oleh Laskar Mengwi atas perintah Raja Mengwi yang berakibat  wafatnya Pangeran Mas Sepuh. Akhirnya beliau di makamkan di desa Seseh yang blakangan ini dikenal dengan sebutan Pura Keramat Ratu Mas Sepuh.
Selanjutnya Wong Agung Willis berhasil menyelamatkan diri dan berniat pergi ke Kerajaan Gelgel. Ketika dalam perjalanan menuju Puri gelgel tiba-tiba beliau sampai di pelemahan Blahbatuh. Kemudian kembali melakukan perjalanan dan akhirnya tiba di pelemahan Desa Bunutin dan menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sehingga penduduk Bunutin merasa iba dan terpesona dan memohon agar Wong Agung Willis tetap tinggal di Bunutin.
Pada tahun 1580 M  oleh Raja Gelgel yang masih memilih trah keluarga Kerajaan Blambangan ini kemudian menghadiahkan tanah lungguh di Bunutin diiringi 300 pengiring. Wong Agung Willis lalu dinobatkan Raja Gelgel sebagai penguasa Puri Bunutin dengan gelar I Dewa Mas Willis dan membangun pemerajan Agung menurut cara-cara dresta. Diceritakan dari istri permaisuri yang merupaka anak dari Raja Mengwi beliau berputrakan Ida I Dewa Mas Blambangan dan Ida I Dewa Mas Bunutin. Sedangkan dari istri penawing I Dewa Mas Willis memilki tiga putra yaitu I Dewa Wayan Mas, I Dewa Made Mas, I Dewa Nyoman Mas.
Dikisahkan kemudian Ida I Dewa Mas Blambangan jatuh sakit sangat berat dan lama serta tidak mempan dengan segala pengobatan apapun. Kemudian Ida I Dewa Mas Bunutin melakukan yoga semadhi dan diberikan pewisik sebagai berikut :
‘’Wahai Mas Blambangan, mas Bunutin dan semuanya ada disini. Aku Dewaning Selam yang bernama Tuhan Allah. Aq minta supaya dibuatkan pelinggih Langgar tempatmu sembahyang kepadaKu. Jikalau tidak membuat sebagaimana permitaan Q. Maka terus menerus secara turun temurun akan menderita sakit parah tapi tidak mati (Gele-gele). Penyakitnya tidak akan sembuh oleh macam-macam obat apapun. Sebaliknya kalau mau membuat pelinggih Langgar sudah pasti sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dan terus berbahagia serta penuh kebahagian serta penuh kewibawaan. Bila ada yang menolak sudah pasti tidak akan mampu bertahan menghadapi penderitaan lahir dan batin malahan akan sampai jatuh ke wangsan keluar dari Puri atau Jaba’’.
            Akibat dari pewisik tersebut Ida I Dewa Mas Blambangan memanggil adik dan ibunya untuk berunding sehubungan dengan pewisik tersebut. Akhirnya beliau memutuskan untuk membuat Pura Langgar. Namun adik tiri Beliau menolak dengan tegas pembangunan Pura Langgar  karena dianggap berbau Islam. Sehingga ketiga saudara tiri Beliau meninggalkan Puri Agung Bunutin dan pergi menghadap Raja Dalem Segening di Puri Gelgel untuk menceritakan kejadian di Puri Bunutin dan diperkenankan tinggal di Puri Gelgel. Setelah Pura Langgar selesai didirikan akhirnya Ida I Dewa Mas Blambangan sehat kembali seperti sediakala tanpa pengobatan apapun. 
 
 
       Sekelumit cerita itulah yang menyingkap pertalian sejarah Hindu dan Islam di Pura Langgar tadi. Uniknya, pura merupakan rumah persembahyangan umat Hindu. Sementara langgar sama artinya dengan rumah ibadah umat Islam. Namun, Pura Langgar tetap difungsikan sebagai tempat persembahyangan umat Hindu hingga kini.
 
 
KEUNIKAN PURA LANGGAR
 Keunikan Pura Langgar yaitu bangunan utama (utamaning mandala) Pura Langgar berbentuk segi empat. Ada dua undakan dan  empat pintu di bangunan yang dikenal pula sebagai Bale Agung ini. Atapnya bertingkat dua. Dua tingkat atap dan undakan ini syahdan melambangkan syariat dan tarekat dalam Islam. Namun, dalam Bale Agung ini ditempatkan Pelinggih Pendeta Sakti Bawu Rauh.
 Sementara sisi utara Pura Langgar dikenal sebagai bangunan kaler (kaja) yang berfungsi sama dengan bale agung. Namun, jika ada warga yang meninggal di Desa Pakraman ini biasanya umat Hindu tak boleh memasuki areal suci ini, kecuali pemangku pura tersebut.
Sisi timur ada bangunan Pura Pajenengan. Bangunan  suci ini diyakini menjadi tempat leluhur yang sudah diupacarai secara Hindu. Upacara khusus di bangunan ini dilakukan saat tiba pagarwesi.



Menariknya, tiga bangunan tempat suci di Pura Langgar ini dipercayai memiliki kedekatan sejarah dengan leluhur pengempon Pura Langgar dari Blambangan yang beragama Islam. Jika ada upacara biasanya sesajen di tiga bangunan suci ini tak memakai daging babi. Sesajen tidak boleh menggunakan daging babi, karena daging babi diharamkan oleh umat Islam. Karena itu diganti dengan daging ayam atau itik.

Sesajen berisi daging babi hanya boleh dipersembahkan di bangun suci yang berada di sisi selatan Pura Langgar. Bangunan suci ini disebut Pura Dalem yang fungsinya sama dengan Pura Pajenengan di sisi timurnya.

 Umat Hindu di pura ini juga mengenal kurban, seperti kurban yang dilakukan umat Muslim di hari raya Idul Adha. Namun kurban yang dilakukan umat Hindu ini dilakukan sekali pada bulan Februari/Maret, sebelum hari raya Nyepi. Upacara ini dikenal sebagai titi mamah atau mapekelem. Kurbannya berupa seekor sapi yang ditenggelamkan di kolam Taman Pura Langgar. 

Menariknya, kurban sapi yang ditenggelamkan di kolam tersebut biasanya hilang tak berbekas. Begitu pula dengan persembahan canang. Padahal, kolam tersebut tak bermuara. Namun, warga di Pantai Lebih, Gianyar, biasanya memastikan ada upacara ini dalam waktu tertentu. Sesajen upacara justru ditemukan warga muncul di pantai tersebut.
Kolam di Taman Pura Langgar itu pun menyimpan cerita unik. Air kolam tak pernah habis terkuras jika dilakukan aksi bersih-bersih. Ada mata air  yang justru berada di tengah kolam yang mengitari bangunan Pura Langgar itu.



Pura Langgar memang menjadi tempat ibadah umat Hindu. Namun banyak pula umat Islam yang berziarah ke sini. Tidak hanya umat Islam di Bali, banyak pula dari daerah lain. Karena itu, di sebelah pura disediakan tempat khusus untuk shalat.
Inilah tempat ibadah yang menjadi simbol perdamaian. Dan semoga akar perdamaian ini terus berakar sehingga rakyat tidak mudah diprovokasi untuk saling membenci dan pada akhirnya memunculkan pertikaian demi kepentingan pihak-pihak tertentu.

Salam Damai.
 

Mengapa Takut



MENGAPA TAKUT

Sesungguhnya umat manusia dimanapun dia berada tidak perlu resah dan takut dengan adanya perubahan-perubahan yang bisa disebut modernisasi, seperti adanya pembangunan-pembangunan dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertanahan dan keamanan termasuk adanya globalisasi dan lain-lainnya. Bahkan semua hal tersebut diatas tadi, hanya cukup kalau dijawab dengan pertanyaan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pelaku utamanya, dan dengan rasa syukur yang setulus-tulusnya kehadapan Tuhan Yang Maha Pencipta. Karena segala yang terjadi, baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang, adalah yang tidak pernah mampu diubah dan ditolak oleh siapapun juga sepanjang jaman.
Salah satu diantaranya sebagai contoh yang saya ambil dari segi Agama Hindu (ini bukan karena kepentingan SARA, tetapi karena ini lebih kepada pengetahuan saya), adanya pengaruh Sang Hyang Tri Purusha; Brahma, Wisnu, Iswara Dewa yang menjadi sebab adanya 3 (tiga) sifat alam Triguna; Satwa (sifat halus), Rajah (sifat sedang), Tamah (sifat kasar), terhadap Bhuana Agung yaitu; bumi, air, sinar, udara, eter, yang memenuhi seluruh ruangan ini yang menyebabkan timbulnya perputaran jaman seperti Catur Yuga, Dwapara Yuga, Treta Yuga dan Kali Sang Haro Yuga. Semua ini pasti terjadi baik dalam sekala makro maupun dalam sekala mikro (perorangan) umpama; suka, suka, lara, pati, yang biasa disebut kodrat alam (nasib di Bali).
Disinilah sebenarnya sangat diperlukan adanya suatu kesabaran dan ketelitian guna mencari-cari dan memahami butir-butir yang tercecer dan terpendam selama ini, sebagai bukti adanya percaya diri (GUGUN TUWON di Bali); gugu + an = Gugon = percaya sekali, tuhu + an = tuwon = kebenaran sejati (DIRI) yang merupakan warisan leluhur di Bali seperti; adat, istiadat dan Agama yang jelas-jelas merupakan penjabaran dari ajaran-ajaran Wedha yang Kawedar (TERTANAMKAN) selama ini baik melalui tingkat pemahaman. Agama filsafah, Agama etika, maupun tata upacara dan upakara yang merupakan permohonan sangat penting di dalam mengarungi samudera hidup ini, yang tidak pernah absen dari siang malam dan suka duka (Rwa Bhinedha tanpa sastra).
Bagi umat Hindu percaya dan meyakini adanya pengaruh Rwa Bhinedha”  yang salah satu diantaranya merujuk pada kehidupan lahiriah dan batinniah, jasmaniah dan rohaniah. Kehidupan lahiriah tidak saja harus dikembangkan dan ditingkatkan, bahkan harus selalu dapat menunjang terwujudnya kesempurnaan bathin dan begitu juga harus terjadi sebaliknya.
Azas keseimbangan kehidupan lahiriah dan batiniah inilah yang sebenarnya menuntut kita untuk melakukan kontrol lahir dan batin inilah merupakan faktor utama dan sangat menentukan di dalam penyampaian sasaran atau tujuan hidup di alam dunia ini.
Sungguh tidak sedikit terdapat simbul-simbul, lukisan-lukisan, termasuk patung-patung berwujud bentuk-bentuk bangunan-bangunan suci, dan banyak lagi yang lainnya; seperti banten dengan segala simbolisnya yang sebernarnya merupakan sastra tak berbunyi  “lontar tan patulis” yang sejak lama menunggu dan mengharapkan uluran tangan para cendikiawan budiman sebagai juru bicara untuk menterjemahkan lontar tutur dan satwa yang tersimpan pada simbul-simbul. Karena sebelum adanya pengaruh tulisan (Anacerake) sebagai pengganti kata (pencatat, di Bali sudah adanya aksara simbul yang berlaku; Punggul, Sundari, Pengider-ider, dll.)
Kalau saja dapat dan mau menerima secara jujur, bahwa semua itu adalah merupakan pesan, saran atau perintah untuk dilaksanakan (TUTUR) yang sanggup memberikan jaminan, bahwa manusia tidak akan pernah merasa takut dengan segala sesuatu yang terjadi, Banyak contoh yang bisa diungkapkan dari simbul-simbul tersebut.
Misalnya simbul Tri Sakti (Brahma, Wisnu, Siwa); utpati, stiti, dan pralina. Secara tegas mengajarkan kepada kita, bahwa sudah pasti kelahiran, kehidupan, kematian, bahkan segala yang diciptakan akan tumbuh dan berkembang, lalu berakhir pada kematian dan kehancuran.
Jadi sudah sewajarnya  kita selama masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup ini, lakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, manfaatkan segala peluang yang diberikan, dan lakukanlah semunya dengan ketulusan dan tanggung jawab. Saya percaya hidup akan terasa maksimal, karena telah berusaha yang terbaik.